Saat Pandemi Hingga New Normal, Perkembangan UMKM Melesat Walau Masih Ada yang Mau Bangkrut

Nusantara, Sosbud138 views

Jakarta – koranprogresif.co.id – Usaha mikro kelas menengah (UMKM) masih menjalani masa recovery di tengah badai COVID-19.

Ketua umum Komunitas UMKM Naik Kelas, Raden Tedy, mengatakan bahwa, kondisi sekarang ini memang beda dibanding saat awal PPKM. Dengan adanya pelonggaran (new normal) para pelaku UMKM bisa kembali melakukan aktivitasnya.

Walau demikian, dengan adanya pelonggaran tersebut, masih banyak para pelaku UMKM yang mau gulung tikar, akibat dampak pandemi COVID-19.

“Saat ini memang agak berkurang pembatasannya, tapi dampaknya tetap ada. Artinya kekhawatiran masyarakat untuk keluar, menahan diri untuk belanja, sehingga UMKM ini masih bermasalah,” ujar Raden Tedy saat berbincang, Kamis (3 Maret 2022).

Tedy mengatakan, selama dua tahun ini, usaha mikro kelas menengah (UMKM) ada yang meningkat bagus dan ada yang bangkrut.

Hal itu dibuktikan Tedy melalui hasil survey yang dilakukannya. Dia menyebut, ada 5,8 persen pelaku UMKM yang bangkrut setelah 2 tahun ini.

Angka tersebut berdasarkan hasil survey dari 1215 responden yang diambil dari ibu-ibu pelaku UMKM dari berbagai daerah Indonesia.

“Bahwa setelah dua tahun ini, UMKM itu ada yang meningkat bagus, ada bahkan usahanya bangkrut. Lebih kurang 5,8 persen yang bangkrut. Ini hasil survey dari 1215 responden dimana dominan itu ibu-ibu (pelaku UMKM) seluruh Indonesia. Itu 5,8 persen udah bangkrut setelah dua tahun ini,” terang Tedy.

Teddy mengurai, pada awal COVID-19 (tahun 2000), sebanyak 83 persen UMKM yang bangkrut. Tapi setelah dua tahun berlalu, per 1 Maret 2022, angkanya menjadi 5,8 persen UMKM yang bangkrut.

Menurut Teddy, selama proses dua tahun itu pemerintah akhirnya memberi kelonggaran. Terlebih, pada saat memasuki masa new normal, dua tahun belakangan sudah banyak perbaikan-perbaikan dari pemerintah.

“Kalau dulu awal-awal COVID hanya 17 persen UMKM yang bertahan. Tapi hari ini cukup banyak. Lebih kurang kalau UMKM yang meningkat penjualannya, justru di atas 50 persen itu ada 5,5 persen. Kemudian ada UMKM yang meningkat sampai 50 persen itu ada 9,7 persen itu sudah ada 15,2 persen. Nah UMKM yang tidak berubah (stagnan) itu ada 18,6 persen.

Kata Tedy, UMKM yang paling banyak memiliki potensi gulung tikar itu adalah yang berkaitan dengan sektor pariwisata dan beberapa barang yang bukan kebutuhan pokok seperti handicraft.

“Yang paling parah itu di Bali, karena Bali mengandalkan pariwisata. Sector pariwisata hamper semua habis lah, gulung tikar. Misalnya kuliner-kuliner yang ada di daerah pariwisata. Kedua semacam handucraft barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan seperti furniture. Itu yang paling banyak terdampak,” ungkapnya.

Tedy mencontohkan, Kota Bandung yang merupakan salah satu Kota Wisata dimana pada hari Sabtu dan Minggu ramai.

“Tapi kan pemerintah sana (Bandung) membuat satu aturan, selain pelat (mobil – motor) hari Sabtu Minggu tidak boleh masuk. Nah ini juga menjadi hambatan,” ucap Tedy.

Lebih lanjut, sektor furniture, dan sector-sektor yang banyak melakukan kegiatan ekspor itu juga terhambat.

“Salah satu faktornya container yang sampai hari ini kita kesulitan ya. Yang kedua juga pembatasan dari negara luar sana, ketiga juga regulasi dari pihak kita (Indonesia),” terangnya.

Kendati demikian, Tedy berharap, kepada pemerintah untuk bisa serius untuk mengembangkan UMKM Indonesia.

“Perlu dilakukan bimbingan, kebijakan bukan pada pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah juga harus mendukung UMKM. Karena beberapa daerah terbukti ekonominya membaik kalau dia lebih banyak mendukung UMKM. Karena pertumbuhan ekonomi kita 60 persen lebih dari UMKM,” pungkas Tedy.

Selama pandemi pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menumbuhkan optimisme bagi para pelaku UMKM, diantaranya yaitu penyaluran PEN, restrukturisasi kredit, mendorong pelaku UMKM untuk on board ke platform digital melalui Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), mendorong perluasan ekspor produk Indonesia, mendorong pelaku UMKM dari sektor informal untuk bertransformasi ke sektor formal, dan mempermudah sektor perizinan, serta melalui UU Cipta Kerja diharapkan mampu memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan kepada pelaku usaha UMKM. (Van).

Berita Lainnya