Sistem Poporsional Tertutup Mangapa Tidak?

Opini1,201 views

Jakarta – koranprogresif.co.id – Pada prinsipnya judicial review perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup oleh pemohon adalah pengujian konstitusionalitas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu berkenaan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (3): peserta pemilihan umum untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Dasar argumentasi pihak terkait adalah Pasal 1 ayat (2): kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Pihak terkait yang menolak sistem proporsional tertutup dimotori delapan partai politik di parlemen menyitir argumen mendasar bahwa setback kepada sistem proporsional tertutup adalah bentuk kemunduran demokrasi (democratic backsliding). Sistem proporsional terbuka yang telah diterapkan sejak pemilu tahun 2004 merupakan conditio sine qua non untuk meluruskan jalan reformasi dan demokrasi.

Pasca usulan judicial review memunculkan beragam pendapat dan argumentasi tentu berbasis empirik dan proven. Semuanya memiliki nilai kebenaran dan rasionalitas (value of truth and rationality). Telaah argumennya pun lebih holistik. Cenderung menafikan soal sistem pemilu berikut lonjakan anggaran, tingkat partisipasi dan pendidikan politik masyarakat, segala kerumitan yang dihadirkan dalam proses dan pelaksanaan pemilu serta begitu sulitnya menyiapkan infrastruktur pemilu pada sistem proporsional terbuka dan serentak.

Narasi diskurus dan dialektikanya lebih kepada hasil pemilu itu sendiri, seperti apa karakteristik anggota legislatif yang dihasilkan oleh Pemilu Sistem Proporsional Terbuka? Misalnya:
apakah anggota legislatif berdaulat kepada rakyat atau berdaulat kepada partai dan kepentingan pemilik modal?
apakah lembaga legislatif semakin produktif atau tambah melempem dan masih bercitra negatif bagi masyarakat?
apakah anggota legislatif sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat atau lebih sering mengkhianati rakyat dan masih berjarak dengan rakyat?
apakah anggota legislatif lebih berintegritas atau malah lebih culas dan doyan korupsi?
apakah anggota legislatif lebih bersahaja atau cenderung hidup petantang petenteng, bermewah-mewahan dan hodenis?
apakah anggota legislatif senantiasa menjaga kehormatan dan martabat institusi DPR atau malah menjadikan DPR sebagai menara gading (ivory tower), menyuburkan cibiran dan hanya menjadikan DPR sebagai institusi proteksi kekebalan hukum?
apakah aggota legislatif sungguh-sungguh bertanggung jawab dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai pembuat undang-undang atau malah hanya bisa menyusun prolegnas tetapi tidak bisa menyelesaikannya sesuai target, dan UU yang dihasilkan akuntable atau penuh dengan konspirasi dan kepentingan pihak tertentu?
apakah anggota legislatif sebagai penyusun dan perumus anggaran pembangunan pro rakyat atau malah menjadikan anggaran sebagai bancakan dengan berkolusi/kongkalikong dengan pemerintah?
apakah anggota legislatif sungguh mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah serta implementasi pembangunan atau banyak kasus hanya dianggap formalitas dan sering terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan sebagai representasi partai politik?
apakah anggota legislatif senantiasa memenuhi kewajibannya dalam rapat-rapat komisi maupun rapat paripurna sebagai forum penting dalam memutuskan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara atau malah lebih sering lalai, mangkir dan menyuburkan budaya titip absen?
apakah masyarakat pemilih nyata telah teredukasi dan tercerdaskan atau justru menjadikan masyarakat kita lebih pragmatis dan cenderung menjadikan pemilu sebagai ajang bagi-bagi duit lima tahunan?
Sejumlah persoalan tersebut yang muncul sebagai produk sistem pemilu proporsional terbuka perlu dicermati secara arif dan komprehensif dengan tetap mengedepankan diskusi berbasis intelektual (intellectual discussion) bukan karena obsesi politik temporer, memuluskan hegemoni dan melanggengkan kekuasaan.

Wacana kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup hendaknya disikapi tidak sekadar hegemoni dan obsesi politik. Menjadikan argumentasi bahwa kembali kepada sistem proporsional tertutup adalah bentuk kemunduran demokrasi, tidak sepenuhnya benar. Demokrasi bermakna jamak dan bersifat interpretatif. Demokrasi bukanlah konsep yang baku dan rigid. Keniscayaan demokrasi adalah perubahan, baik morfometrinya maupun substansinya. Konsep demokrasi lahir dari rumusan yang adaptif dan akulturatif.

Demokrasi tumbuh sesuai dengan konteks dan dinamika sosio-historis-kultural suatu bangsa. Itu dasarnya bahwa setiap negara berhak melebelisasi diri sebagai negara yang demokratis, meskipun nilai dan praktik politik kekuasaannya jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.

Argumen bahwa sistem proporsional terbuka hanya melahirkan liberalisasi politik juga ada benarnya. rekrutmen calon anggota legislatif yang relatif bebas dan terbuka menimbulkan persaingan tidak sehat dan tidak berimbang. Banyak kader partai politik yang memiliki kapabilitas, kompetensi dan berdedikasi besar untuk partai tidak berdaya berkompetisi dengan para caleg pemilik modal dan popularitas belaka.

Untuk kepentingan simbiosis mutualisme, partai politik cenderung pragmatis dengan memanfaatkan kondisi persaingan tidak sehat ini untuk menjadikan caleg pemilik modal dan popular sebagai pendulang suara (vote getter). Di sisi lain partai politik tidak dapat mengontrol dan tidak mampu mendeskripsi secara akurat apakah caleg tersebut memiliki paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila atau tidak? Tentu kita tidak ingin mempertaruhkan eksistensi bangsa dan negara ini dikuasai oleh kanibalisme politik, hingga pada akhirnya menimbulkan polarisasi politik dan mengancam Konstitusi serta merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rasanya tidak perlu bangga atas labelisasi Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat karena predikat itu tidak utuh (incomplete principle of democracy), hanya kebetulan Indonesia berpenduduk besar yang menerapkan prosedur demokrasi.

Sejatinya, kita belum mampu menerapkan substansi demokrasi itu sendiri. Dari berbagai pengalaman pemilihan umum dan penerapan demokrasi di negara-negara berkembang atau di negara pelopor demokrasi, eksistensi pemilu adalah alat penjajahan dan kepentingan serta hanya memuluskan perubahan rezim, bukan perubahan dan akulturasi sistem. Dari banyak kasus, seringkali demokrasi menyuburkan liberalisasi ekonomi sebagai instrumen penjajahan Barat untuk menghegemoni suatu negara. Naudzubillah min dzalik…!

Djafar Badjeber
Mantan Anggota MPR RI

Berita Lainnya