Jakarta – koranprogresif.co.id – Konsolidasi Nasional Evaluasi 2 Tahun Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin digelar oleh Pengurus Besar pelajar Islam Indonesia (PB PII), Rabu (20/10/2021).
Konsolidasi yang dilaksanakan melalui virtual zoom tersebut menghadirkan berbagai kalangan. Hadir tiga pimpinan OKP, Rafani Tuahuns, Ketua Umum PB PII, Jefri Gultom, Ketua Umum PP GMKI, Affandi Ismail Ketua Umum PB HMI.
Dalam forum tersebut, juga hadir Darmaningtyas, selaku tokoh senior pengamat pendidikan, Satriawan Salim Ketua Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Indra Charismiadji, selaku praktisi pendidikan dan Nasrullah Larada, selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PP KB PII).
Rafani Tuahuns, Ketua Umum PB PII menegaskan, sejak awal forum bahwa prinsip keadilan untuk semua telah menjadi landasan fundamental negara. Ia mengutip sila kelima Pancasila. “Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia, sangat tegas Pancasila sebagai Statsfundamentalnorm, norma fundamental negara, bahwa keadilan untuk semua, tidak boleh ada kebijakan pemerintah yang diskriminatif,” ungkapnya.
Sementara itu menurutnya, evaluasi 2 tahun Jokowi-Ma’ruf Amin, sangat memprihatinkan realitas pendidikan. Ia menerangkan ketimpangan pendidikan desa dan kota, akses pendidikan di daerah-daerah yang jauh tertinggal dengan kota-kota besar.
“Kebijakan Menteri Nadiem Makarim tidak solutif, ketimpangan sudah terjadi, badai pandemi menyerang negeri, harusnya Kebijakan Mas Menteri Nadiem Makarim pro rakyat kecil. Justru kebijakannya memperlebar jurang ketimpangan, setahun terakhir kebijakan PJJ yang tidak ditunjang infrastruktur digital serta tidak adanya grand desain pendidikan di tengah pandemi manjadikan pelajar di daerah-daerah tidak mendapatkan akses pendidikan yang sama, ini diskriminatif,” tegas putra asal Sulawesi Tengah itu.
Menurutnya, kebijakan harus berkeadilan, jika kebijakan itu diskriminatif maka menurut Rafani, itu pelanggaran terhadap konstitusi dan bertentangan dengan Pancasila. “Amanat Konstitusi tegas, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, demikian termaktub dalam pas 31 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pendidikan yang merata adalah hak seluruh anak bangsa, dan kewajiban negara memenuhinya,” ungkap putra berdarah ambon tersebut.
“Hasil survei Unicef misalnya, ada 938 anak usia 7 hingga 18 tahun putus sekolah, dan 74 persen disebabkan tidak memiliki biaya, ini hasil survei unicef terkait angka putus sekolah di Indonesia saat Pandemi Covid-19. Ini masalah besar, cita-cita menderdaskan kehidupan bangsa yang menjadi amanat Konstitusi tidak benar-benar diperhatikan oleh negara, angka putus sekolah ini memberi bukti bahwa Kebijakan Pendidikan salah arah,” jelasnya.
“Masih banyak lagi kebijakan kontroversi Mas Menteri yang sejak dilantik presiden membuat kegaduhan di publik. Terakhir yang gaduh soal pembubaran Badan Nasional Standarisasi Pendidikan, padahal amanat UU Sisdiknas secara tegas bahwa Badan Standarisasi harus mandiri, Pembubaran BNSP dan diganti dengan Lembaga lain dan langsung berada dibawah Mendikbud itu jelas bertentangan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” terang alumni Fakultas Hukum Untad tersebut.
“Kebijakannya kontroversi, kebijakannya tidak berkeadilan, realitas pendidikan sudah berada diambang darurat, hampir 2 tahun terjadi loss learning, dikhawatirkan terjadi loss generation. Ketimpangan pendidikan semakin menganga, namun kebijkannya masih salah jauh dari solusi, maka kami secara tegas memberikan Rapor Merah untuk Mendikbud-Ristek Nadiem makarim, kami meminta di 2 tahun kepemimpinan Jokowi -Ma’ruf, Pak Presiden yang kami hormati, harus memilih Menteri yang mengurusi pendidikan dengan orang yang tepat,” ungkap Rafani di hadapan forum.
Sementara itu, Satriawan Salim, selaku Ketua P2G, meyoroti Kebijakan Menteri Nadiem yang belum pro terhadap guru honorer.
Menurutnya, masih bagaimana mungkin pendidikan kita bisa maju, masih banyak guru kontrak yang gajinya dibawah satu juta perbulan, bahkan dalam keterangannya masih ada guru honor yang jaginya empat ratus hingga lima ratus ribu perbulan.
““Kebijakan anggaran yang tidak pro terhadap guru honorer, gaji guru honorer di daerah-daerah masih ada kita jumpai perbulan menerima kurang dari satu juta rupiah. Ini tidak sebanding,” ujarnya.
Menurutnya, dengan kekurangan 1.3 juta guru, kebijakan pro terhadap guru honor ini harus prioritas, Guru-guru ini sudah berpengalaman mengajar, harusnya gajinya bisa sesuai. Maka menurutnya, pemerintah harus menghadirkan Upah Layak Minimum Guru Honorer untuk memastikan keadilan untuk semua guru.
Para tokoh lainnya juga mengungkapkan berbagai catatan evaluasi dari berbagai sisi terhadap Kebijakan pendidikan yang belum tepat sasaran.
Forum Konsolidasi Nasional tersebut dihadiri ratusan partisipan yang juga memberikan pandangan terhadap kondisi miris pendidikan Indonesia. (Red).