Jeruk Keprok Tawangmangu, Kisah Ganjar saat Masih Kecil

Nusantara, Sosbud127 views
Karanganyar – koranprogresif.co.id – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memiliki kenangan tak terlupakan tentang jeruk keprok, saat Ganjar masih kecil dan tinggal di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar.

Bahkan cerita Ganjar dan jeruk keprok Tawangmangu sempat menjadi atensi Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri.

 

Kenangan itu dituturkan Ganjar Pranowo saat bernostalgia menyusuri jalanan kampung masa kecilnya di Tawangmangu, Senin (2/5/2022) malam. Ganjar bercerita, dulu di belakang rumahnya ada kebun dengan berbagai tanaman. Mulai singkong, sayuran, buah-buahan seperti apel, alpukat, dan jeruk.
“Dulu juga ada tanaman apel, jeruk. Jeruk yang sangat terkenal dari Tawangmangu itu jeruk keprok. Ini dulu pernah kena virus dan hari ini sedang coba dihidupkan lagi. Kayaknya berhasil,” ujarnya.
Ganjar masih duduk di bangku sekolah dasar saat virus menyerang tanaman jeruk keprok di Tawangmangu. Waktu itu sampai ada tim khusus dari Jepang untuk menangani virus tersebut, hingga akhirnya sekarang masih terus tumbuh di sana.
“Saya ingat, dulu waktu jeruk kena virus itu datang tim dari Jepang. Saya masih ingat betul, itu waktu SD. Baru tahu ternyata pohon jeruk itu diinfus. Termasuk jeruk yang di rumah itu dulu ditempeli infus. Apakah itu eksperimen atau memang tenaga yang disiapkan, untuk merawat dan menghidupkan kembali pohon yang diserang virus itu,” kenang Ganjar.
Kemudian saat Ganjar dewasa, ia sempat ditanya oleh Megawati Soekarnoputri tentang kampung halamannya dan komoditas jeruk keprok yang sempat jatuh.
“Pada suatu saat saya ditanya sama Bu Mega, Di Tawangmangu itu tempat lahirmu ya, dulu ada jeruk keprok. Iya, Bu. Sekarang mulai tumbuh lagi, mulai hidup lagi. Saya dulu pernah kirim beberapa untuk beliau lihat,” kata Ganjar, sembari mengulang dialognya dengan Megawati tentang jeruk keprok Tawangmangu.
Cerita tentang jeruk keprok itu hanya sebagian kecil dari kenangan Ganjar Pranowo, tentang kampung halamannya di Tawangmangu. Cerita lain yang ia tuturkan saat bernostalgia itu tentunya tentang rumah masa kecilnya. Di mana rumah kontrakan ukuran kecil dan sederhana itu ditinggali oleh delapan orang.
“Dulu, rumah kontrakan itu dihuni kurang lebih delapan orang. Saya sama kakak-kakak, Bapak-Ibu, lalu sepupu. Dulu rumahnya tidak sebesar ini. Dulu rumah induk hanya di sini, belum sampai sana. Rumahnya penuh. Dapurnya dulu belum pakai kompor, masih pakai kayu. Di sini dulu dinginnya minta ampun,” katanya, tentang rumah kontrakan yang dihuni sampai 1973 itu.
Begitu masa kontrak rumah habis, lanjut Ganjar, ia bersama keluarga pindah. Ayah Ganjar membeli sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah kontrakan itu, sekitar 100 meter. Ganjar tinggal di Tawangmangu sampai kelas 5 SD sebelum pindah ke Karanganyar dan berlanjut ke Kutoarjo, Purworejo.
“Jadi kata ibu saya, saya lahirnya di rumah ini. Saya ingat ini pintunya di sini, tentu bentuknya tidak seperti ini, sudah diubah. Lalu di depan sini ada tangga ke bawah sehingga kalau orang mau masuk lewat sini. Itu yang saya ingat. Dulu kontrak, begitu kita sudah tua, sudah dewasa, berembug dengan keluarga untuk membeli rumah ini. Ari-ari saya di sini,” jelasnya, mengenai rumah yang sekarang sudah dimiliki dan ditinggali keluarga besarnya itu.
Ganjar menyebut rumah masa kecilnya itu sebagai bagian dari proses perjalanan hidup. Ia bahkan mengingat bagaimana dari depan rumahnya itu dapat melihat pemandangan bukit Mogol. Di sana juga Ganjar belajar hidup mandiri dan memahami bagaimana kebutuhan pokok bisa diambil dari kebun sendiri.
“Dari kecil diajari masak dan cuci piring. Itu berguna karena ketika sudah dewasa bisa mandiri. Lalu dari kebun itu hampir semua kebutuhan sehari-hari ambil di situ, bahkan orang datang membeli hasil panen atau sekadar berbagi hasil panen dengan tetangga,” tandas Ganjar. (Red)

Berita Lainnya